Selasa, 20 Juli 2010

cinta yang berkurang

cinta yang berkurang

[Tanya]

Ass Wr. Wb.

Mas Her, mau tanya. Saya sudah menikah, dan pasangan saya baik sekali. Tapi kenapa ya, belakangan ini saya merasa sedang tidak terlalu mencintainya, dan ada saja kekurangan dia di mata saya sekarang. Bahkan mulai tumbuh rasa ’suka’ kepada sahabat saya yang lain? Saya setengah mati menahan rasa ini, tapi rasa itu tetap ada.



[Jawab]

Wa alaikum salaam wr. wb.

Itu hikmah, ujian, dan bahan baku doa.


Itu sebuah hikmah:

Bahwa tiada yang kekal. Bahkan cinta yang pernah terasa dahsyat, itu pun tidak kekal. Akan ada habisnya, dan akan ada tumbuhnya kembali. Hikmah ini, pada akhirnya, akan mengajarkan satu hal: hanya Allah yang konstan.

Allah konstan, sekaligus dinamik. Dia kekal, sekaligus bisa merubah apapun dan kapanpun, sehingga berubah. Pada akhirnya nanti kita akan belajar, bahwa dua kutub yang bertolak belakang, dua hal yang berlawanan, akan menyatu di Dia saja.

Cinta merupakan hak-Nya. Cinta adalah sebuah rasa yang agung, yang indah, dan datang dari Dia, walaupun bisa jadi ia datang lewat pintu syahwat dan hawa nafsu. Kita tidak mungkin mengenal cinta ilahiyyah, jika kita tidak tau rasa cinta manusiawi.

Kita bisa mencintai seseorang yang kemudian menjadi pasangan kita, itu tidak bisa dilogikakan. Kenapa mencintai si A? Kenapa begitu anak kita lahir, tiba-tiba saja tumbuh sebuah rasa cinta baru yang amat sangat kepada anak kita itu? Karena Dia yang menghadirkan rasa itu. Kita bisa mencintai seseorang, karena Dia yang memberikannya. Dia menghadirkan apapun, dan kapanpun, sekehendak-Nya.

Cinta makhluk, membutuhkan dua pihak. Dan supaya cinta ini hidup, keduanya harus serempak. Sebagaimana sayap, mustahil terbang jika tidak serempak. Dalam cinta makhluk, jika penghayatan keduanya berbeda, jika cakrawala pandang berbeda, jika kedalaman perenungannya berbeda, dan pemaknaan cintanya berbeda, kedua cinta tidak akan bertemu. Akhirnya cinta akan mati. Maka dari itu, jika dalam pasangan salah satu tidak berusaha mengimbangi yang lain, atau salah satu tertinggal dalam hal penghayatan cinta maupun kedalaman perenungannya, akan mati. Demikian juga bila salah satu tidak berusaha menyelami pasangannya.

Tapi setiap kematian, akan melahirkan sesuatu yang baru. Demikian pula cinta. Kematian cinta akan melahirkan sesuatu yang lebih tinggi lagi. Bisa jadi cinta yang baru, yang lebih dalam, maupun hikmah. Bisa apa saja.


Itu sebuah ujian:

Bahwa Dia sedang membuat kita merenung sumpah kita dulu ketika menikah. Pasangan kita akan semakin tampak ketidaksempurnaannya. Tapi seharusnya, kita menerimanya apa adanya. Kita pernah bersumpah di akad nikah dulu: kita menerimanya dalam keadaan apapun. Kita bersumpah ‘mengabdi’ pada pasangan, sebagai wujud pembelajaran pengabdian pada Dia. Sempurna ataupun tidak sempurna.

Allah pun demikian. Walaupun Dia Maha Sempurna, ada kalanya Dia tampak tidak sempurna di mata kita yang bodoh ini. Kadang tindakan-Nya menyakitkan kita, kadang menyebalkan kita. Kadang kita tidak memahami-Nya, kadang Dia demikian membingungkan. Kadang cinta kita pada-Nya terkikis. Meski demikian, akankah kita hentikan pengabdian ini kepada-Nya? Apakah kita hanya mau mencintai-Nya, jika Dia memberi imbalan saja? Jika kita mampu merasakan rasa dimanja-Nya saja?

Belajar ‘mengabdi’ (dalam tanda kutip) pada pasangan, pada akhirnya kita akan belajar mengabdi kepada-Nya. Kita berusaha memenuhi hak-hak anak dan istri sebaik-baiknya, seorang istri berusaha memenuhi hak-hak suami dan anak-anaknya sebaik-baiknya pula, maka lambat laun kita akan belajar untuk memenuhi hak-hak Allah sebaik-baiknya.


Itu sebuah bahan baku doa:

Segala sesuatu membutuhkan bahan baku. Kekhusyukan dan rasa fakir kepada-Nya pun membutuhkan bahan baku.

Dia pemilik cinta. Jika kita tidak mampu menumbuhkannya, jika kita tidak lagi memilikinya, akui saja kefakiran kita ini kepada-Nya. Mintalah, mohonlah. Kita meminta sesuatu yang benar-benar kita butuhkan, dengan demikian kita akan menghasilkan sebuah doa yang original, sebuah doa yang bukan sekedar basa-basi di bibir. Kita akan memohonkan sebuah doa yang benar-benar kita pahami: bahwa kita membutuhkan rasa itu.

Hentikanlah mengeluh, menyalahkan pasangan kita bahwa dia begini dan begitu, sehingga kita tidak lagi mencintainya. Jika Allah tidak lagi mencintai kita, apakah kita akan menyalahkan-Nya? Lihatlah pada diri kita, bercerminlah. Apa yang kita perbuat, sehingga Dia tidak lagi mencintai kita. Demikian pula dalam hal cinta pada pasangan kita.

Segala sesuatu sampai pada kita, bukan saja diizinkan-Nya, tapi bahkan –dikehendaki-Nya– untuk terjadi. Ini adalah bahan baku perenungan dan permohonan, bukan bahan baku keluhan dan ketidak ikhlasan.

Jika cinta kita pada seseorang terasa semakin hambar, mohonlah untuk disegarkan, ditumbuhkan kembali. Jika kita tidak mencintai Dia, maka mohonlah akan rasa cinta kepada-Nya. Jika kita mencintai yang terlarang, maka mohonlah pula agar syahwat cinta itu dipadamkan.

Segala sesuatu adalah tamu dari-Nya. Tamu datang ke qalb kita sebagai ‘Rasul-Nya’, untuk mengingatkan kita bahwa sebenarnya, disadari maupun tidak, kita membutuhkan Dia. Kita hanya bisa meminta pada Dia.

—Herry Mardian—

———-

Berkenaan dengan setiap rasa yang datang ke hati, kita renungi puisi seorang mursyid besar yang pernah ada di dunia ini, Jalaluddin Rumi, tentang diri kita sebagai ‘Rumah Tamu’.

The Guest House

This being human is a guest house.
Every morning a new arrival.

A joy, a depression, a meanness,
some momentary awareness comes
as an unexpected visitor.

Welcome and entertain them all!
Even if they are a crowd of sorrows,
who violently sweep your house
empty of its furniture,
still, treat each guest honorably.
He may be clearing you out
for some new delight.

The dark thought, the shame, the malice.
meet them at the door laughing and invite them in.

Be grateful for whatever comes.
because each has been sent
as a guide from beyond.

(Jalaluddin Rumi, translation by Coleman Barks

Tidak ada komentar: